Selasa, 30 Maret 2010

Memahami Hati

Memahami Hati
----------------------------------------------------------


Muhammad kecil tampak pias. Ibu asuhnya, Halimah As-Sa'diyah, panik. Apa yang sebenarnya terjadi pada anak susunya itu? Muhammad masih terlalu kecil untuk ditanya. Anak Halimah yang menemani Muhammad juga masih balita. Sulit memberi keterangan yang jelas. Sedikit informasi yang disampaikannya menjelaskan bahwa Muhammad diculik oleh laki laki asing.

Kisah pun berkembang. Muhammad diyakini telah diculik oleh 'Malaikat'. Lalu, menurut kisah itu, dada Muhammad dibuka. Hatinya diambil, dicuci bersih, dan dikembalikan ke tempatnya semula sebelum dada itu ditangkupkan lagi. Sebagian lalu percaya bahwa Muhammad mempunyai hati yang putih bersih, berbeda dengan manusia lain.

Banyak yang tak mempercayai kisah tersebut. Tapi, dari waktu ke waktu kisah itu terus didongengkan pada anak-anak di masyarakat muslim manapun.

Tampaknya ada subtansi yang ingin disampaikan melalui kisan turun temurun tersebut. Substansi itu adalah bahwa hati yang bersih sangat berharga bagi kehidupan kita. Hati yang bersih bahkan kunci sukses hidup kita, dunia-akhirat. Maka, Muhammad Sang Teladang pun digambarkan berhati paling bersih karena telah "dicuci oleh malaikat".

Khasanah tasawuf sepenuhnya berpusat pada soal hati. Baik dari lingkungan tasawuf yang paling dekat dengan budaya mistik, maupun yang lebih mengikuti konsep syariah. Beberapa buku tasawuf menggambarkan hati adalah "raja". Raja itulah yang memerintahkan seluruh anggota tubuh untuk bergerak ke arah yang dikehendakinya. Ke arah yang baik, juga ke arah yang tidak baik.

Penggambaran hati sebagai "raja" bukan tanpa dasar. Kata-kata Muhammad tentang hati merupakan salah satu hadis yang paling populer di masyarakat Islam. Imam Bukhari dan Imam Muslim, dua periwayat hadis Rasul yang paling mendapat pengakuan, sama-sama meriwayatkan hadis yang bersumber dari keterangan Nu'man bin Basyir itu.

"Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati," kata Rasulullah.

Muhammad menggunakan istilah yang mudah dipahami masyarakatnya masa itu. 'Qalb' atau 'hati' disebutnya sebagai "segumpal daging di dalam tubuh". Itu yang disebutnya sangat menentukan kualitas seseorang. Apakah akan menjadi baik, atau akan menjadi buruk. Selama berabad-abad, pengertian seperti itu terus dipertahankan. Orang pun menerka-nerka bagaimana wujud segumpal daging itu, dan bagaimana mekanismenya dalam mempengaruhi kehidupan.

Namun, 'hati" dalam konsep tasawuf tampaknya perlu dipahami lebih dari sekadar fisik. Penggambaran hati secara fisik akan mengantarkan pada organ hati (lever) yang berfungsi sebagai penyaring racun dari tubuh. Atau pada jantung yang akan berdenyut tenang saat seseorang merasakan kedamaian dan berdegup kencang di saat sebaliknya. Tentu bukan organ hati atau jantung itu yang akan menuntun seseorang pada sebuah cinta abadi dengan Sang Khalik, melainkan hati yang lebih kasat mati.

Hati yang kasat mata itulah yang dalam tasawuf yang akan menuntun manusia pada kehidupan yang mencintai dan dicintai Allah. Hati itulah yang memiliki "penglihatan" yang dapat menjangkau hal yang tak terjangkau oleh indera. Hati itulah yang akan diketuk-ketuk dengan dzikir hingga jiwa orang tersebut tenteram.

"Ketahuilah, dengan berdzikir hati akan tenteram." Firman Allah itu selalu menjadi rujukan para sufi yang tak henti mempromosikan dzikir. Hati menjadi sarana penghubung manusia dengan Sang Pencipta. Dengan sarana hati, seorang yang mendalami tasawuf diyakini dapat mencapai taraf kasyaf. Sebuah keadaan di mana hijab atau penghalang antara Khalik dan makhluk tidak ada lagi.

Pada taraf tersebut, menurut konsep Imam Ghazali, seseorang akan mengetahui "cetak biru" kehidupannya yang tertera di Lauh al-Mahfud.

Menurut konsep tersebut, Allah menyusun 'cetak biru' sebelum memberikan kehidupan pada manusia. Realita yang dihadapi manusia, termasuk sukses atau gagal, adalah perwujudan cetak biru itu.

Dengan akal, manusia dapat mempelajari segala yang terjangkau oleh indera yang pada dasarnya merupakan perwujudan cetak biru itu. Dengan hati, seseorang dapat menjangkau cetak biru itu. Pada tingkat itu seseorang disebut mempunyai ilmu ladzunni --ilmu yang diperoleh begitu saja tanpa pernah mempelajarinya.

Pada taraf itu, dalam istilah sufisme Jawa, seseorang mencapai tingkat weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum diberitahu/diajarkan). Maka, terkadang seorang sufi dianggap tahu masa depan kehidupannya sendiri dan bahkan kehidupan orang lain. Padahal, sebenarnya bukan itu tujuan tasawuf.

Untuk pendalaman tasawuf, hati selalu menjadi bahasan sentral. Hampir semua kelompok tarekat memiliki metoda untuk menghunjamkan dzikir pada hati. Ustad Abdullah Gymnastiar juga memilih pengelolaan hati sebagai fokus dakwahnya, dengan label "manajemen qalbu".n zaim uchrowi


Tidak ada komentar: