Jumat, 05 Maret 2010

Keluarga Sebagai Laboratorium Perbaikan

Keluarga Sebagai Laboratorium Perbaikan

Akhir-akhir ini, pikiran kita kembali diusik oleh maraknya perkelahian antar siswa yang telah mengakibatkan kerugian besar. Tidak hanya kerugian material tetapi lebih dari itu, sudah banyak nyawa yang pergi begitu saja dengan sangat tragis. Semua orang dibuat cemas, bagaimana dengan nasib anak-anak mereka. Seorang supir taksi yang mengaku pernah terjebak dalam tawuran massa anak-anak sekolah mengatakan bahwa terjebak dalam tawuran anak sekolah, lebih mengerikan ketimbang berhadapan dengan preman. Ia pun sudah bulat tekadnya untuk tidak menyekolahkan anaknya di Jakarta.

Meskipun ada diantara anak-anak itu yang belum lama ini dijatuhi hukuman penjara empat tahun karena telah membunuh seroang pelajar STM, namun semua itu masih mengharuskan kita untuk meyakini bersama betapa pentingnya menelusuri permasalahan ini dengan serius.

Apalagi, yang kemudian terjadi adalah tidak seimbangnya antara upaya perbaikan yang dilakukan (baik sistem, perangkat, keseriusan dll.) dengan tingkat kerusakan yang mereka lakukan baik dari sisi jumlah maupun bentuk kejahatannya. Maka boleh jadi cukup beralasan ketika banyak dari masyarakat yang kesal sekali dan menuntut agar mereka dihukum dengan seberat-beratnya. Kalau kita bicarakan siapa saja pihak yang punya keterkaitan tanggung jawab terhadap masalah ini sebenarnya banyak sekali yang bisa kita sebutkan. Disana ada sekolah, sistem pendidikan, lingkungan, globalisasi budaya, serangan sekulerisasi, evolusi moral dan lain-lain sebagainya. Disamping memang tidak boleh dilupakan bahwa tanggung jawab tersebut juga harus juga dilimpahkan dalam banyak persen kepada individu pelaku kerusuhan itu sendiri.

Artinya, bagaimanapun juga seseorang yang telah dewasa atau yang telah baligh, maka dalam islam ia adalah seorang manusia yang sudah mendapatkan kewajiban syari'at (mukallaf dan dia akan diperhitungkan perilakunya apakah baik atau buruk. Sehingga dengan begitu, tanggung jawab itu tidak sampai harus menjadi bola permainan yang dilempar kesana ke mari tidak ada yang merasa wajib menangkap. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kita juga seharusnya berpikir bahwa dalam kenyataan, keluarga juga punya peran yang sama untuk menentukan baik dan tidaknya kepribadian seseorang.

Keluarga sebagai sebuah lembaga kehidupan yang harus dan pasti dilalui oleh setiap manusia apapun bentuknya, adalah sebuah tempat dimana manusia banyai berinteraksi dengan berbagai cara, norma dan pengetahuan tentang hidup itu sendiri terutama pada masa-masa awal kehidupannya.. Maka, faktor lingkungan (bi'ah) dalam keluarga adalah salah satu elemen yang harus kita perhatikan. Sehingga apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari keluarga tersebut -untuk menjadikan seluruh anggota keluarganya sebagai orang-orang baik- bisa dipenuhi dengan baik. Oleh karena itu, setiap keluarga perlu menghidupkan dalam rumahnya sebuah iklim perbaikan secara terus-menerus. Memang ini semua adalah sebuah upaya yang sangat panjang dan melelahkan. Bahkan bisa dikatakan, upaya ini adalah sebuah investasi jangka panjang yang mungkin tidak kita ketahui kapan kita bisa meraih keuntungannya, atau bahkan kita tidak akan sempat menikmati keuntungan tersebut tertapi anak cucu kita yang akan menikmatinya. Barangkali renungan singkat berikut ini bisa menjadi bahan pertimbangan setidak-tidaknya sebagai sebuah upaya bersama untuk kembali merintis jalan perbaikan yang kita citakan sebagai sarana meraih kebahagiaan dan ketentraman hidup. Membangun lingkungan (bi'ah) yang baik dalam keluarga sebenarnya bisa dilakukan melalui tiga fase.

Pertama, Fase Pembiasaan (Bi'ah Ta'widiyyah)

Lingkungan dalam keluarga untuk tahap awalnya bisa dibangun diatas "pembiasaan-pembiasaan". Artinya, pada masa ini, seorang yang paling berpengaruh maupun yang berkuasa dalam keluarga tersebut, menerapkan sistem pembiasaan kepada seluruh anggota keluarganya untuk selau bersikap dan berperilaku baik. Peran seorang ayah tentu sangat dominan dalam hal ini. Pembiasaan yang dimaksud bisa dibicarakan dengan cara bermusyawarah dengan akrab terhadap seluruh anggota keluarga untuk bersama-sama mengadakan kesepakatan tertentu yang harus dilaksanakan oleh anggota keluarga tersebut. Misalnya sepakat untuk bangun pagi, sepakat untuk mengucapkan salam kalau masuk rumah, sepakat untuk rukun sesama anggota keluarga, mebiasakan untuk berpuasa, dan seterusnya. Hal ini kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pemberian sangsi dalam bentuknya yang arif dan bijaksana tentunya. Pembiasaan yang dimaksud tidak hanya diberlakukan untuk anggota keluarga yang masih anak-anak akan tetapi diberlakukan untuk seluruh anggota keluarga siapapun dia dan berapapun usianya dengan tentu saja mempertimbangkan apa jenis pembiasaan tersebut yang cocok. Pembiasaan yang dimaksud harus merujuk kepada syariat islam, baik kepada AlQur'an maupun kepada sunnah Rosululloh Saw yang keduanya merupakan dua sumber hukum yang tidak bisa ditinggalkan oleh siapapun. Sebagai contoh dari pembiasaan ini adalah apa yang disabdakan oleh Rosululloh bahwa seorang anak apabila telah sampai kepada usia tujuh tahun, maka ia harus diajarkan dan "dibiasakan untuk melakukan sholat",.dan apabila usianya telah mencapai sepuluh tahun, maka kalau dia tidak mau melakukan sholat harus dipukul. Tuntunan ini menjadikan kita bisa menarik kesimpulan bahwa pembisaan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah pembiasaan yang lebih kepada terlaksananya amal. Belum banyak berisi dialog tentang kenapa mesti sholat dan sebagainya. Firman Alloh Swt: Artinya: "Dan perintahkan kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya' (QS. Thoha: 132) Demikian juga dalam hal lain yang mungkin berlaku untuk anggota keluarga yang telah memiliki tanggung jawab (mukallaf) maka orang yang berkuasa dalam keluarga harus terlebih dahulu menjadikan kekuasaannya itu sebagai pembiasaan yang baik.

Kedua, Fase Islamisasi (Bi'ah Islamiyah).

Fase kedua ini adalah bagaimana membangun iklim keluarga yang baik itu tidak hanya dengan cara membiasakan kepada anggota keluarganya untuk melakukan perbuatan baik sebagaimana pada fase pertama. Pada fase kedua ini, upaya perbaikan dalam keluarga seperti tidak hanya didasarkan kepada kekuatan pemimpin yang ada didalam keluarga tersebut (dengan adanya sangsi misalnya). Akan tetapi pada fase ini, setiap orang sudah dibiasakan untuk mengetahui secara hukum keislaman mengapa ia harus menjadi orang yang baik, mengapa ia harus berakhlaq mulia, mengapa ia harus menjauhi kemungkaran. Pada fase ini seluruh anggota keluarga harus dididik bagaimana menjadikan perbuatan baik merupakan kewajiban yang mereka ketahui landasan ideologisnya, sekaligus bisa dirasakan sebagai kebutuhan mereka semua. Sehingga dalam keluarga tersebut bisa dirasakan adanya sebuah lingkungan yang Islami (Bi'ah Islamiyah). Jika tidak maka yang terjadi adalah bahwa apa yang mereka lakukan akan hanya terbatas kepada keterpaksaan yang sepi dari makna.
Dalam sholat misalnya, bukan lagi sekedar yang penting sholat dan kalau tidak mau harus
dipukul. Tetapi lebih dari itu, mereka harus mengerti kenapa harus melakukan sholat. Firman Alloh Swt:
Artinya: `Dan dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar' : (QS. Al-Ankabut: 45)
Seorang anak tidak hanya dibiasakan untuk membaca do'a-do'a yang dipaksakan untuk dihapalkan dan dibaca dalam berbagai kesempatan -seperti do'a makan, do'a berangkat dari rumah dan lain-lain- akan tetapi ia harus diajak mengerti dan mengetahui kenapa ia mesti berdo'a sebelum makan. Fase ini adalah fase mengajarkan kebaikan dengan daya pikir yang memadai. Menjadikan seseorang melakukan kebaikan dengan kesadaran sepenuhnya akan pentingnya berbuat baik didasarkan kepada landasan syarai'at islam maupun didasarkan kepada kebutuhan dirinya akan kebahagiaan dalam hidup ini yang mengharuskan dia untuk menjadi orang yang baik. Sehingga setiap anggota keluarga menjadi tahu, bahwa mereka adalah hamba Alloh yang mempuyai kewajiban untuk berbuat baik di muka bumi ini. Ia menjadi tahu, bahwa menjadi orang baik tidak hanya sebatas sebagai sesuatu yang dibiasakan tanpa ada ketenangan berpikir yang bisa menentramkan dirinya bahwa segala kebaikan yang dilakukan itu adalah sesuatu yang memang disadari sepenuhya oleh akal dan pikirannya.

Ketiga, Fase Mengajak Kepada Kebajikan (Bi'ah Da'awiyah)

Pada fase ketiga ini, keluarga beserta seluruh anggotanya tidak hanya terbatas kepada membiasakan diri ataupun sebatas mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan dari tugas-tugas syariat islam ini. Akan tetapi lebih dari itu, ia juga tidak berhenti sampai disitu saja akan tetapi dilanjutkan lagi kepada upaya menciptakan iklim memperbaiki tidak hanya diri sendiri tetapi juga saling memperbaiki sesama anggota keluarga yang lain. Dengan menggunakan methode taushiyah yang diajarkan Al-Qur'an maupun As-sunnah. Lebih jauh lagi, mereka juga menjadi agen perbaikan untuk masyarakat sekitarnya. Dalam fase ini sebuah keluarga adalah merupakan kumpulan orang-orang yang punya komitmen tidak hanya untuk menjadi kumpulan orang-orang sholih, tetapi ia lebih dari itu merupakan laboratorium perbaikan yang dari dalamnya mengalir aktifitas-aktifitas perbaikan yang produktif, yang bisa dinikmati tidak hanya oleh lingkungan mereka sendiri, akan tetapi lebih dari itu ia merupakan kumpulan orang-orang yang telah menjelmakan konsep islam sebagai rahmat dari alam semesta itu dalam diri mereka sehingga bisa dinikmati oleh orang lain dalam jumlah yang banyak. Pada fase ini anggota keluarga adalah para pejuang dan penyeru kepada keislaman dalam bidang; yang digeluti masing-masing. Dengan disiplin ilmu, profesi, status, tempat tinggal, kedudukan fungsional maupaun struktural masing-masing. Semua adalah sarana yang digunakan sepenuh hati untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan bermasyarakat.
Fase ini tentu merupakan fase yang amat berat. Tetapi sudah semestinya upaya-upaya ke arah sana segera ditempuh oleh setiap anggota keluarga. Semua orang harus dan memang seharusnya sadar betapa tingginya kebutuhan mereka akan kebaikan karena hal itu berkaitan langsung dengan kebahagiaan diri seseorang itu sendiri. Kebahagiaan dalam konteks manusia adalah sama dengan kesesuaian hidup manusia dengan syari'at islam. Dalam pengertian sederhana, kebahagiaan adalah bagaimana atau sejauh mana seseorang mampu menselaraskan segala kehidupannya dengan tatanan syarai'at islam. Karena memang tabiat dan karakter manusia hanya bisa dibenahi dengan hukum yang memang dibuat oleh yang menciptakan manusia itu yaitu Alloh Swt. Semoga Alloh menjadikan keluarga kita sebagai laboratorium perbaikan dan bukan sebagai ladang kerusakan.

Wallohu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar: