Kamis, 25 Maret 2010

Keikhlasan Seorang Profesional

Keikhlasan Seorang Profesional


Suatu hari, seorang sahabat bertanya pada Rasulullah. "Bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang untuk mendapat upah dan pujian. Apakah ia akan memperoleh pahala?" Rasul tegas menjawab: "Ia tidak akan mendapat apa-apa."

Pertanyaan itu, seperti diriwayatkan Abu Umamah, diulang tiga kali. Rasul pun mengulang jawabannya, dan menambahkan bahwa Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang dikerjakan secara ikhlas serta mengharap wajahNya.

Bagi seorang sufi sejati, keikhlasan bukan lagi sesuatu yang harus terus dipupuk hingga tumbuh dan bersemai menyelimuti seluruh hati. Hati seorang sufi sejati telah sedemikian rapat terbebat oleh rindu dendam pada Sang Kekasih. Kecintaan terhadapNya akan dengan sendirinya melahirkan keikhlasan. Ikhlas, dengan demikian, adalah bagian dari jiwa mereka tanpa terpisahkan kembali.

Tidak demikian bagi orang kebanyakan. Orang-orang yang 'mualaf' di jalan sufi. Orang-orang yang masih tertatih belajar menekuninya, bagai seorang bayi yang baru belajar menapakkan kakinya ke tanah. Bagi kita yang masih berada di kawasan itu, keikhlasan adalah hal yang masih harus diupayakan dengan keras.

Tanpa upaya itu, tangga menuju puncak keikhlasan tidak akan tertapaki. Ketidakmampuan mencapai puncak keikhlasan akan mustahil membuat kita sampai di jalan sejati tasawuf.

Upaya keras menuju ikhlas itulah yang ditempuh Ibrahim bin Adham saat mengawali pencarian spiritualitasnya. Semula ia penguasa wilayah Balukhistan, kawasan sekitar Afghanistan-Pakistan sekarang. Konon mata hati Ibrahim terbuka setelah menghukum cambuk seorang pembantunya yang tergoda untuk mencoba tidur di tempat tidurnya. Juga setelah seorang asing berjalan di atap istananya.

Ibrahim menegur orang itu, dan bertanya apa yang tengah dilakukannya. Orang itu menjawab bahwa dirinya tengah mencari unta. Ibrahim menyebut bahwa tentulah orang itu sudah gila karena mencari unta di atap istana. Namun orang itu menangkis: "bukankah Tuan juga mencari Tuhan di istana?" Sejak itu Ibrahim meninggalkan istananya untuk berguru pada sufi besar Bayazid Bustami.

Ibrahim harus menjalani latihan ketat. Keikhlasannya sebagai mantan penguasa benar-benar diuji. Suatu kali ia 'terjebak' mengekspresikan kejengkelanya atas suatu penolakan terhadap hasil kerjanya dengan berkata seseorang, "kalau sekarang aku masih seperti dulu zaman menjadi raja, kau pasi sudah kubunuh."

Ucapan itu membuatnya harus memperpanjang ujian. Di saat lain, ia tampak bermuka masam. Itupun membuat Bayazid memperpanjang ujian bagi Ibrahim. Baru setelah melampaui semua itu, Ibrahim dapat menekuni jalan sufi secara baik.

Ikhlas adalah jalan meluncur menuju penenggelaman hati ke dalam samudera-Nya. Ikhlas adalah anak tangga menuju ke haribaanNya. Istilah ikhlas sering diartikan sebagai pemurnian tujuan untuk bertaqarub kepada Allah dari segala hal yang mengotorinya. Dengan kata lain, ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan ketaatan dengan mengabaikan penilaian makhluk lainnya.

Maka, di banyak lingkungan pesantren 'tasawuf', keikhlasan merupakan hal yang paling ditekankan sejak awal. Keikhlasan seorang 'murid' yang tengah disiapkan naik ke jenjang lebih atas akan benar-benar diuji oleh Mursid. Ada yang diminta untuk merawat makam aulia di lingkungan pesantren itu, bahkan harus tidur di makam itu, dalam kurun yang panjang. Ada yang diminta mengajar adik kelasnya selama bertahun-tahun. Atau mengerjakan suatu hal secara terus-menerus dan hanya boleh berhenti setelah diberitahu. Semua itu harus dilakukan tanpa imbalan apapun hingga mencapai suatu tahap ikhlas.

Tidak ada perjuangan tanpa keikhlasan. Itu nilai yang paling dini diajarkan di pesantren. Itu pula nilai utama yang menjadi landasan banyak lembaga keagamaan. Orang-orang yang terlibat dalam lembaga-lembaga tersebut diharapkan untuk ikhlas tanpa mengharap apapun dari keterlibatannya. "Allah akan mencukupkan kebutuhan hamba-hambaNya yang ikhlas berjuang di jalanNya." Kalimat bijak itu yang terus ditanamkan pada orang-orang yang terlibat di lembaga-lembaga tersebut.

Dalam beberapa kasus, persoalan muncul ketika kebutuhan keseharian mereka tak terpenuhi. Sedangkan pimpinan institusi terus memompakan nilai-nilai ikhlas. Di saat itulah acapkali benih-benih keikhlasan yang telah bersemai justru layu kembali, lalu institusi-institusi keagamaan itu berhenti pula berkembang.

Di dalam mualamah, keikhlasan yang menjadi batu pondasi sufisme hanya akan terbangun setelah ada pemenuhan hak yang wajar bagi semua yang terlibat. Seorang manajer yang menekuni jalan sufi akan mencukupi keperluan anak buahnya lebih dahulu sebelum menanamkan nilai-nilai keikhlasan. Pemenuhan keperluan itu yang mendorong keikhlasan bagi profesional. Keikhlasan para profesional akan tercermin dari hasil kerja yang melebihi standar yang ditentukan.

Di saat muda, Muhammad SAW bernegosiasi lebih dahulu dengan Khadijah untuk memperoleh upah dua ekor unta bagi pekerjaannya menjadi manajer misi bisnis ke Syam. Keikhlasan beliau melaksanakan tugas itu berbuah sukses besar misi bisnis tersebut. Itulah Muhammad SAW, sufi dan profesional terbaik sepanjang masa.


Tidak ada komentar: