Sabtu, 03 April 2010

Pohon Menjadi Pena, Laut Menjadi Tinta

Pohon Menjadi Pena, Laut Menjadi Tinta

======================================================================================

Seri 007 yang berjudul Makrokosmos ditutup dengan S. Luqman 27, dan seri ini dibuka dengan ayat yang sama: Wa law anna maa fi l-ardhi min syajaratin aqlaamun wa lbahri yamudduhu min ba'dihie sab'atun abhurin maa nafidat kalimaatu Llaahi 'aziezun hakiem. Dan jika sesungguhnya pepohonan di bumi jadi pena, dan laut kemudian ditambah lagi tujuh laut (menjadi tinta), niscaya tidak akan habis (dituliskan) kalimah Allah, sesungguhNya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana..

Apa yang akan ditulis ini adalah aktual, tetap aktual. Yaitu mengenai kebesaran Allah. Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Allah tidak dapat dilihat dengan perangkat kasar, mata kasar. Allah hanya dapat dilihat dengan perangkat halus, mata batin. Namun kebesaran Allah, walaupun tidak dapat dilihat dengan mata kasar, alam ciptaan Allah dapat dilihat dengan mata kasar. Alam ciptaan Allah ini dapat menunjukkan kebesaran Penciptanya. Dalam Al Quran Allah membimbing manusia untuk dapat melihat kebesaran Allah, bukan sekadar yang kwalitatif, melainkan juga sampai-sampai kepada yang kwantitatif, seperti dalam S. Luqman 27 tersebut.

Sang Khalik dan Hati Sehat

Sang Khalik dan Hati Sehat
================================================================================

Seorang sufi besar, Imam Al-Qushairy an-Naisabury, dikenal sebagai penunggang kuda yang piawai. Hubungan Naisabury dengan salah satu kudanya sedemikian dekat. Selama 20 tahun, Imam Naisabury menyayangi kuda itu. Ia merawat baik kuda tersebut sampai akhirnya Sang Imam wafat. Sepeninggal tuannya, kuda itu tampak murung. Ia menolak makan sama sekali hingga. Tak lama kemudian, si kuda itu pun mati.

Itu hanya salah satu kisah kedekatan bahkan kesetiaan seekor hewan piaraan pada tuannya. Banyak kisah lain semacam itu. Juga di dunia modern sekarang. Di antaranya adalah kisah tentang anjing yang setia mengunjungi makam pemiliknya setiap hari hingga hewan peliharaan itu mati. Tak heran bila kuda itu sedemikian "berduka" begitu Naisabury wafat.

Bakso Khalifatullah

Bakso Khalifatullah

Emha Ainun Nadjib,

------------------------------------------------------------------------------------------



Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.

“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.

“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.

“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”

Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”

“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.

“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.

“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.