Kamis, 10 Juni 2010

Tidak Satu Rupiah pun

Tidak Satu Rupiah pun
A.Haris Elmi, Helvy Tiana Rosa
=======================================================


Pada saat penyusunan anggaran daerah tahun 2003, ada inisiatif dari para anggota DPRD Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, untuk memasukkan anggaran perumahan sebesar 75 juta rupiah bagi setiap anggota. Sejak awal, saya — anggota DPRD Lubuk Linggau dari PK — tidak menyetujui hal itu. Tapi, tampaknya pengesahannya sudah tinggal menunggu kesepakatan seluruh anggota legislatif saja.

Saat pembahasan di tingkat pimpinan yang melibatkan semua fraksi di Dewan, Fraksi Persatuan Kebangkitan dan Keadilan (FPKK) meminta saya selaku sekretaris untuk menyampaikan pandangan fraksi. Nyatanya, seluruh pimpinan fraksi sudah menyetujui anggaran 75 juta per anggota itu.

Pada pemberian pendapat terakhir, tiba-tiba di mata saya muncul wajah kebanyakan orang di negeri ini yang tak lagi punya pekerjaan. Muncul wajah kanak-kanak yang menangis karena kelaparan. Muncul wajah para ibu yang tak memiliki tempat tinggal, para penduduk yang menjadi pengungsi di negeri sendiri.

Tiba-tiba saya ingin menangis. Allah, bagaimana saya bisa menerima uang itu? "Saya tidak setuju, Pak!" seru saya dengan suara bergetar. "Saya tidak setuju sama sekali dengan mata pasal ini. Saya tidak setuju dimasukkan angka, meski satu rupiah pun."

Suasana hening sesaat. Lalu riuh lagi, kali ini dengan nada cemooh. Tak lama, Wakil Ketua berkata, " Anda tidak setuju. Tapi kalau sudah ada anggarannya kan Anda ambil juga uangnya."

Saya berusaha tenang, namun suara saya kian bergetar. "Demi Allah, saya tidak akan mengambil uang itu sedikit pun."

Lalu seorang anggota Dewan setengah berteriak memotong saya: "Ris, di sini kita tidak usah bawa-bawa Tuhan dan agama! Kita sudah banyak berbohong pada rakyat!"

Saya menatap orang tersebut. "Justru di sini sangat diperlukan agama. Dan jika merasa pernah berbohong pada rakyat, maka detik ini juga berhentilah membohongi mereka!"

Lalu semua diam. Akhirnya, didapat kesepakatan untuk membicarakannya kembali, termasuk dengan Walikota. Namun, ternyata ada berbagai upaya untuk menghambat dan memperlambat proses pembahasan. Dalam sebuah rapat paripurna pembahasan RAPED, saya bahkan sampai walk out. Saya juga miris karena di saat uang 75 juta itu diributkan, banyak tenaga honorer di Dewan yang sudah tiga bulan belum dibayar honornya.

Akhirnya, anggaran tersebut gagal juga dimasukkan. Dan sebagian anggota Dewan hingga saat ini bersikap setenga memusuhi saya. Tak apalah, yang penting saya sudah bertindak dengan mendengarkan nurani. Semoga Allah mengampuni.



Tidak ada komentar: